Tugas
Individu
SILVIKA

NAMA : ADRISAL LOLOPAYUNG
NIM :
M 111 11 289
KELAS : C
FAKULTAS
KEHUTANAN
UNIVERSITAS
HASANUDDIN
MAKASSAR
2013
PENJARANGAN
1.
Peran Penjarangan
Penjarangan sangat diperlukan untuk
menstimulir keadaan tegakan dan lingkungan. Pengaruh ini sangat berkaitan yang
disebabkan oleh faktor-faktor yang dipengaruhi oleh penjarangan antara lain,
temperature udara, presipitasi, penguapan, kelembaban udara, cahaya, suhu tanah
dan kelembaban tanah. Sedangkan factor-faktor tersebut secara langsung maupun
tidak langsung akan mempengaruhi tegakan.
Bellinga (1939) mengadakan peneltian tentang
keadaan tegakan sebelum dan sesudah penjarangan pada hutan jati, terhadap
jumlah batang, bidang dasar per hektar, diameter rata-rata dan tinggi
rata-rata. Hasil penelitiannya, dengan penjarangan dapat membesar diameter
batang, yang merupakan syarat penentu kualitas kayu, dan menambah produksi
total dari tegakan.
2. Waktu
Penjarangan
Kegiatan penjarangan sebaiknya dilakukan pada
musim kemarau. Pohon-pohon yang dimatikan dalam penjarangan terdiri dari :
1. Pohon-pohon dengan batang cacat atau sakit
(bengkok angin, pangkal batang berlubang atau cacat, luka terbakar, luka
tebangan, benjol inger-inger, dll).
2. Pohon-pohon dengan batang yang kurang baik bentuk
atau kualitasnya (garpu, bayonet, bengkok, benjol, muntir, dan bergerigi yang
dalam).
3. Pohon-pohon tertekan (kecuali untuk mengisi
lubang-lubang tajuk) yaitu pohon yang tajuknya, seluruh atau sebagian besar,
berada di bawah tajuk pohon lain dan tingginya kurang dari tiga perempat tinggi
rata-rata.
Semakin cepat tumbuh tanaman, semakin subur
tanah dan semakin rapat tegakan, maka semakin awal penjarangan pertama perlu
dilakukan. Ada dua criteria dalam menetapkan waktu penjarangan, yaitu :
1.
Perbandingan tajuk aktif yaitu perbandingan antara tajuk sampai batas cabang hidup
(masih bereran dalam fotosintesis) dengan tinggi total tanaman/pohon. Untuk daun
lebar penjarangan dilakukan saat perbandingan tajuk aktif 30-40 %, dan untuk
daun jarum saat perbandingan 40-50 %.
2. Setelah
beberapa saat tajuk pohon menutup. Umumnya untuk jenis cepat tumbuh penjarangan
pertama dilakukan pada kisaran umur 3-4 tahun dan untuk jenis medium dan lambat
tumbuh pada kisaran umur 5-10 tahun.
Frekwensi penjarangan tergantung pada ruang
tumbuh optimal yang dibutuhkan tegakan pada saat itu. Pada umur muda
penjarangan dilakukan dengan intensitas lemah dan berangsur-angsur menjadi
penjarangan keras pada umur pohon yang sudah tua. Penjarangan yang mendadak
keras merugikan karena :
1. Meningkatkan pertumbuhan gulma
2. Meningkatkan penebalan kulit dan cabang
3. Memacu pertumbuhan cabang
4. Meningkatnya kayu muda (Juvenile wood).
Besarnya intensitas penjarangan dapat
ditetapkan dengan dua cara, yaitu :
1. Berdasarkan
intensitas penjarangan marginal yaitu penjarangan tidak mengakibatkan penurunan
kumulatif produksi kayu pertukangan. Perlu diketahui informasi rata-rata batas
maksimum bidang dasar pada peninggi tegakan tertentu dan rata-rata riap volume
tegakan.
2. Berdasarkan
S % (persen sela), yaitu rata-rata jarak antar pohon yang dinyatakan dalam
persen terhadap rata-rata peninggi pohon (= rata-rata 100 pohon tertinggi per
ha dalam tegakan). S % optimal memberikan ruang tumbuh optimal bagi pohon dalam
tegakan sampai saat penjarangan berikutnya. Untuk menetapkan S % optimal
diperlukan data pertumbuhan pohon pada setiap umur tegakan. Besarnya S % pada
akhir penjarangan beragam menurut jenis, umumnya berkisar antara 15-35 %.
3. Metode
Penjarangan
Untuk memenuhi kebutuhan
kayu bagi penduduk, bahan baku industri dan meningkatkan pendapatan perusahaan
tanpa menurunkan daur tegakan, optimalisasi kegiatan penjarangan jati dan
penerapan daur ganda sudah saatnya dilakukan oleh Perum Perhutani. Dengan
kegiatan ini akan tercapai tujuan dari multiple use of forest land.
Ditinjau dari obyek pohon
yang dijarangi, ada beberapa metode penjarangan hutan yaitu:
a) Penjarangan
tinggi, yaitu penjarangan terhadap pohon-pohon yang tajuk nya menonjol
dibanding pohon yang lain (ingat tebang pilih pada TPTI).
b) Penjarangan
rendah, yaitu penjarangan terhadap pohon-pohon yang relatif tertekan, terkena
penyakit, bengkok, jelek dll agar diperoleh tegakan tinggal yang baik.
c) Penjarangan
seleksi, yaitu penjarangan terhadap pohon-pohon yang termasuk klasifikasi
dominan agar pohon-pohon yang berada dibawah tajuk nya dapat terstimulasi
pertumbuhannya,
d) Penjarangan
mekanis, yaitu penjarangan yang dilakukan untuk mengatur jarak antar pohon yang
bertujuan memperoleh pertumbuhan optimal, tanpa melihat permukaan tajuk (ingat
penjarangan untu walang), dan
e) Penjarangan
bebas, yaitu penjarangan yang tidak terkait dengan salah satu metode terdahulu
dan tanpa memperhatikan permukaan tajuk. Sedangkan apabila ditinjau dari
tingkat kekerasan penjarangan dibedakan menjadi tingkat penjarangan keras,
tingkat penjarangan sedang, dan tingkat penjarangan rendah.
Secara umum, metode
penjarangan Hart yang diadopsi dalam Peraturan Teknis Penjarangan Tahun 1937
antara lain adalah:
1. Pohon
dengan cacad, kekurangan bentuk, dan kualitas harus mendapat perhatian pertama
untuk dibuang dalam penjarangan.
2. Penjarangan
pohon dominan diperkenankan hanya untuk tegakan muda, sepanjang tajuk tegakan
tingal masih dapat saling menutup.
3. Pohon-pohon tertekan yang seluruh
atau sebagian besar tajuknya dibawah tajuk pohon lain diutamakan dijarangi.
4. Dalam
penjarangan diupayakan terbentuk sebaran jarak antar pohon yang merata.
5. Jumlah
tegakan tinggal dupayakan berada pada batas dalam daftar tegakan tinggal.
Ditinjau
dari aspek teknis dan aspek sosial ekonomi, pertimbangan Hart memilih metode
penjarangan dengan derajat lemah dan intensitas sesering mungkin tidaklah
keliru. Pada saat Hart melakukan penelitian tersebut (tahun 1928) jumlah
penduduk di Jawa masih sangat sedikit, dan gangguan pencurian kayu jati relatif
tidak ada, sehingga tegakan tinggal hasil penjarangan yang umumnya pohon
dominan dan kodominan masih tetap aman. Di samping itu pada awal abad ke-20,
industri pengolahan kayu di Jawa belum berkembang sehingga dengan ragam tegakan
yang memiliki berkualitas batang baik akan meminimalkan biaya pengangkutan dan
menghasilkan rendemen akhir yang tinggi. Perlu diingat pada awal abad ke-20,
batang kayu jati tidak dibawa dalam kondisi utuh dari dalam hutan tetapi harus
dipacak terlebih dahulu menjadi kayu bertarah bulat atau kayu bertarah persegi
untuk mempermudah pengangkutan.
4. Teknis
Penjarangan
Pada
hutan jati penjarangan biasanya dilakukan pada saat pohon berumur 1,5 sampai 2
tahun untuk tanah dengan bonita 4 keatas, sedangkan untuk
tanah-tanah dengan bonita 3,5 kebawah, tanaman dijarangi pada umur 3 sampai 4
tahun, selain itu harus diperhatikan perkembangan keadaan tegakan tersebut.
Sebelum
digunakan penjarangan, menurut Hart pada hutan jati pelaksanaan penjarangan
dengan menggunakan cara penjarangan kelas pohon dan penjarangan bebas. Pada
setiap penjarangan, sejumlah pohon yang ada harus dibuang. Untuk
menentukan pohon mana yang harus dibuang, tergantung dari sistim penjarangan
yang digunakan.
Pelaksanaannya
kegiatan penjarangan pada perum perhutani terlebih dahulu melakukan
inventarisasi tegakan dengan intensitas sampling 10%, yaitu dengan membuat
Petak Contoh Percobaan (PCP) dengan jari-jari 17.8 meter atau setara dengan
luas 0.1 Ha, dengan menunjuk satu pohon peninggi sebagai titik tengah. Semua
pohon yang ada dalam PCP dihitung dan diberi nomor urut yang diawali (nomor 1)
pada pohon peninggi yang juga diberi tanda T sebagai pohon tengah. Pohon yang
tingginya ¾ dari pohon peninggi (pohon-pohon tertekan) tidak dihitung.
Apabila
peninggi dan umur pohon sudah diketahui, maka bonita tanah dapat diketahui
pula, yaitu dengan membaca pada tabel tegakan normal jati menurut Wolff van
Wulfing, yang memuat jumlah pohon normal dalam luasan satu hekktar berdasarkan
bonita tanah dan umur tegakan. Dengan demikian jumlah pohon yang harus dibuang/
ditebang per hektarnya dapat diketahui.
Sebelum dilakukan penjarangan, harus diketahui terlebih dahulu
umur, bonita tanah, peninggi serta jumlah pohon per hektar, dengan ketentuan
sebagai berikut :
·
Umur tegakan ditentukan dengan mengurangi
tahun risalah dengan tahun tanam. Apabila dalam anak petak ada beberapa umur
dengan beda yang tidak terlalu jauh maka ditetapkan umur rata-rata. Contoh petak
luasnya 40 ha, 10 ha berumur 20 tahun, 30 ha berumur 25 tahun maka umur
rata-rata adalah :
·
Pengukuran
tinggi dengan alat
Christenmeter atau Hagameter, yaitu dengan mengukur pohon peninggi yang
merupakan tinggi pohon tertinggi tiap are atau rata-rata 100 pohon tertinggi
per ha merata. Umur tiga tahun ke bawah tidak perlu diukur peningginya, sedangkan
peninggi
untuk umur yg berbeda, dihitung seperti menentukan umur rata-rata.
·
Bonita. Pada tegakan jati terdapat bonita dengan
tingkatan setengah-setengah (bonita 1-1½, …, 5½-6). Bonita diperoleh dari Tabel
WvW dengan melihat umur dan peninggi, dengan ketentuan bahwa untuk
tegakan < 5 tahun, dicari dari bonita tegakan yang lebih
tua yg berdekatan, sedangkan bonita yang baik dicari dari pohon dengan umur
mulai 6 tahun peninggi.
·
Jumlah
Pohon, menunjukkan
banyaknya pohon per hektar yang dihitung berdasarkan jumlah pohon dalam petak
ukur. Jumlah pohon
dipergunakan sebagai dasar pertimbangan penjarangan dengan membandingkan dengan
tabel tegakan normal.
Hasil inventarisas tegakan yang dilakukan dengan
menggunakan teknik sampling sistematik dengan petak ukur berbentuk lingkaran,
dapat diketahui jumlah pohon normal yang harus ada dalam satu hektar yaitu
dengan membandingkan jumlah pohon hasil inventarisasi dengan table normal WvW.
Dengan demikian jumlah pohon yang harus dijarangai juga dapat diketahui.
Pohon-pohon yang dimatikan dalam penjarangan
terdiri dari :
4. Pohon-pohon
dengan batang cacat atau sakit (bengkok angin, pangkal batang berlubang atau
cacat, luka terbakar, luka tebangan, benjol inger-inger, dll).
5. Pohon-pohon
dengan batang yang kurang baik bentuk atau kualitasnya (garpu, bayonet,
bengkok, benjol, muntir, dan bergerigi yang dalam).
6. Pohon-pohon
tertekan (kecuali untuk mengisi lubang-lubang tajuk) yaitu pohon yang tajuknya,
seluruh atau sebagian besar, berada di bawah tajuk pohon lain dan tingginya
kurang dari tiga perempat tinggi rata-rata
Metode Penentuan Kerapatan Tegakan
Kerapatan tegakan bukanlah merupakan penentuan
ukuran volume langsung. Pada penentuan kerapatan tegakan menghendaki tambahan
informasi tentang tegakan sebelum volume dapat ditaksir. Ada beberapa macam
cara menentukan kerapatan tegakan antara lain
a.
Metoda
Okuler
Para rimbawan Eropa mempertahankan kerapatan
maksimal yang selaras dengan pertumbuhan maksimal dengan estimasi okuler
penutupan tajuk dan perkembangan tajuk. Rimbawan-rimbawan ini menggunakan
estimasi okuler untuk menentukan stok penuh dalam plot yang dipilih untuk
membuat tabel hasil normal; dan sebagai konsekwensinya telah terdapat variasi
kriteria kenormalan.
b.
Metoda
Tabel Hasil Normal
Metode tabel hasil normal ini dikembangkan dari
tegakan seumur yang merupakan dasar untuk mengukur kerapatan tegakan. Disini,
metode tabel hasil normal memberikan nilai rata-rata banyak karakteristik
tegakan untuk tegakan mempunyai stol penuh, seumur, dan murni pada umur dan kualitas
tempat tumbuh sama.
Kerapatan suatu tegakan tertentu dengan metode
ini dinyatakan sebagai hubungan luas bidang dasar, jumlah pohon, atau volumenya
dengan nilai tabel hasil normal untuk umur dan indeks tempat tumbuh yang sama.
Luas bidang dasar adalah kriteria yang paling banyak digunakan karena mudah
ditentukan dilapangan dengan peralatan yang menggunakan prinsip sudut
Bitterlich. Kriteria untuk ukuran kerapatan yaitu kemudahan dlam penerapan dan
kemampuan mengubahnya ke volume jika tabel hasil tersedia. Metode ini
tergantung pada pengetahuan umur dan kualitas tempat tumbuh tegakan. Kesalahan
dalam penentuan umur dan indeks tempat tumbuh membatasi ketelitian penguluran
kerapatan.
c.
Metode
Tabel Hasil Bruce
Agar dapat menentukan kerapatan tegakan berdasarkan
volume tegakan, volume per pohon ditemukan membutuhkan korelasi karena
variasi tinggi/ diameter dalam tegakan yang berdiameter tegakan rata-rata sama.
Variabel dalam metoda ini dapat diukur dengan
mudah dan teliti dalam tegakan. Kerapatan tegakan dapat dievaluasi dengan tidak
bergantung pada umur dan kualitas tempat tumbuh. Kurangnya tabel hasil yang
dapat dibandingkan untuk kebanyakan jenis mengurangi kegunaan metode tersebut,
dan pada setiap kasus kegunaannya terbatas untuk perbandingan kerapatan tegakan
dalam suatu jenis dan daerah tertentu.
d.
Metode
Indeks Kerapatan Tegakan Reineke
Metode ini digunakan untuk menjadi alat untuk
pengelolaan tegakan intensif untuk mengatur kerapatan tegakan. Reineke
menemukan bahwa setiap tegakan seumur pada diameter tegakan rata-rata adalah
diameter setinggi dada pohon dengan luas bidang dasar rata-rata yang mempunyai
lebih kurang jumlah pohon per acre yang sama dengan setiap tegakan murni,
seumur dan sejenis dan mempunyai diameter rata-rata, kualitas tempat tumbuh
tidak berpengaruh terhadap jumlah pohon. Indeks kerapatan tegakan selalu
dinyatakan sebagai jumlah pohon. Metode ini bebas untuk mempertimbangkan
pengaruh tempat tumbuh dan umur, dan dengan mudah diperoleh dengan menggunakan
sudut Bitterlich atau baji Bruce untuk pengukuran luas bidang dasar (LBDS) dan
dengan pencatatan diameter pohon yang dihitung pada setiap titik. Metode ini
memberikan ukuran kerapatan yang tidak bergantung pada jenis.
Indeks kerapatan Reineke mempunyai banyak penerapan praktis delam mengevaluasi perkembangan tegakan. Sebagai contoh:
Indeks kerapatan Reineke mempunyai banyak penerapan praktis delam mengevaluasi perkembangan tegakan. Sebagai contoh:
- Indeks tersebut memungkinkan kerapatan tegakan dibandingkan tanpa memandang perbedaan tempat tumbuh dan umur.
- Dengan adanya tegakan tua tertentu yang dipandang untuk memenuhi tujuan pengelolaan, silvikulturis dengan menggunakan IKT dapat memproyeksikan kebelakang untuk menentukan jumlah pohon yang tepat yang hendaknya dijaga pada tegakan umur muda untuk berkembang pada kerapatan yang sama.
- Studi penjarangan dan kontrol stok menentukan tingkat batas atas dan bawah luas bidang dasar yang diinginkan.
- Tegakan yang dijaga pada luas bidang dasar konstan berakibat pengurangan kerapatan secara berangsur karena bila hal ini dikerjakan luas bidang dasar sebagai presentase luas bidang dasar normal menurun dengan berjalannya waktu.
e. Metode Persaingan Tajuk
Metode Bruce mempunyai keterbatasan maka muncul
metode persaingan tajuk digunakan untuk pengukuran kerapatan tegakan yang
didasarkan pada prinsip biologis yaitu korelasi yang tinggi antara lebar tajuk
pohon yang tumbuh terbuka dan diameternya. Metode ini terbukti berguna untuk
estimasi pengurangan tinggi yang disebabkan oleh berbagai derajat stagnasi pada
Pinus contorta (Alexander dkk, 1967). Metoda ini dikembangkan untuk
memberikan data jumlah ruang tumbuh maksimal yang dapat digunakan oleh pohon
dan data keperluan pohon minimal untuk mempertahankan tempatnya dalam tegakan
(Krajicek dkk, 1961). Pohon yang tumbuh terbuka harus digunakan untuk
mengumpulkan data proyeksi luas tajuk vertikal dengan diameter pohon, karena
hanya pohon yang tumbuh terbuka hubungan luas tajuk dengan setiap
diameter setinggi dada tidak dipengaruhi oleh persaingan.
Luas tajuk
maksimal (LTM) dinyatakan sebagai persentase luas satu acre yang dapat
ditempati oleh pohon tumbuh terbuka pada diameter batang tertentu dan penentuan
luas menghendaki kurva yang sama untuk setiap jenis. Faktor persaingan tajuk
(FPT) adalah jumlah seluruh nilai LTM dalam satu acre. Metode ini tidak perlu
mengukur penutupan tajuk (Curtis, 1970) karena manipulasi tegakan seperti
penjarangan dapat secara buatan mengganggu keutuhan tajuk.
f.
Metode
Praktis
Metode praktis tergantung pada fungsi tertentu diameter atau
tinggi sebagai kontrol kerapatan tegakan yang berkembang. Metode ini mempunyai
keuntungan mudah diketahui dan digunakan semua orang yang ditugaskan
melaksanakan tugas tersebut. Indeks kerapatan tegakan Reineke dapat langsung
diterjemahkan menjadi metode persentase tinggi atau metode D plus untuk
diterapkan dilapangan.
g.
Metode
persentase tinggi.
Wilson (1046, 1955) memperkenalkan ide pemeliharaan kerapatan yang
seragam dalam tegakan yang berkembang dengan memperlakukan jarak sebagai fungsi
tinggi; yaitu dengan tinggi pohon 50 feet dan presentase tinggi 22 persen, maka
jarak antara pohon adalah 11 feet. Tinggi mempengaruhi tempet tumbuh dan umur,
dan agak tidak tergantung pada kerapatan tegakan, sebaliknya diameter
dipengaruhi oleh kerapatan tegakan. Presentasi tinggi tertentu yang
digunakan untuk jark tanam tergantung pada jenis terutama toleransinya, dan
tujuan pengelolaan.Tempat tumbuh tidak mempengaruhi persentase. Pohon-pohon
kecil mula-mula bisa diabaikan dalam jarak tanam pohon, penerapan metode
presentasi tinggi hanya menghendaki pengukuran tinggi pohon dan kemampuan untuk
menaksir jarak rata-rata antar pohon meskipun terdapat ketidak keteraturan
jarak tanam yang benar.
h.
Metode
D plus
Metode D plus, jarak dalam feet antara pohon-pohon harus sama
sperti diameter rata-rata dalam inci ditambah suatu konstanta yaitu diameter
rata-rata 12 inci ditambah 2 sama dengan jarak antar pohon 14 feet.
Kelemahannya kaidah tersebut adalah bahwa penambahan nilai konstanta terhadap
diameter tidak mempertahankan kerapatan tertentu.
Metode Lain Pengukuran Kerapatan Tegakan
a. Metode rasio pohon/ luas
Metode ini mengalokasikan luas permukaan tanah yang
diduduki tajuk individu pohon dalam tegakan normal menurut diameter
batangnya.Luas areal untuk setiap diameter batang dikalkulasi dengan menggunkan
persaman kuadrat yang diperoleh dari kuadrat terkecil data serangkaian tegakan
dengan stok normal Pinus taeda yang telah digunakan dalam penyiapan tabel
hasil. Rasio pohon/ luas dan luas areal pohon berdiameter tertentu tidak
bergantung pada tempat tumbuh dan umur jika dikalkulasi dari tegakan normal.
Penggunaan metode ini menggunakan plot tetap dan diameter semua pohon agar
dapat menghitung rasio. Setiap jenis tanaman menghendaki perhitungan sekumpulan
konstanta baru untuk persamaan kuadrat. Kelemahan utama metode ini adalah
konsepnya bahwa luas areal yang ditempati pohon berdiameter tertentu adalah
sama, dengan tidak mengindahkan kerapatan tegakan. Dengan demikian penafsiran
rasio pohon/ luas akan sulit.
b. Metode Riap Volume Stage
Kerapatan tegakan berhubungan dengan potensi pertumbuhan,
namun dua tegakan bila mempunyai kerapatan tegakan sama berdasarkan jumlah
pohon atau volume tetapi tidak mempunyai potensi pertumbuhan yang sama. Metode
ini menaksir pertumbuhan pada suatu titik dengan menghubungkan riap volume
pohon dengan pangkat tiga diameternya dan menghendaki pengetahuan kemampuan
pertumbuhan suatu tempat tumbuh pada setiap tingkat perkembangan tegakan.
Sementara rasio riap volume berjalan terhadap kemampuan pertumbuhan bisa tidak
bergantung pada umur dan tempat tumbuh, derivatnya tidak demikian. Disamping
itu, riap volume bisa konstan untuk kisaran kerapatan tegakan yang lebar
(Briegleb., 1952; Gingrich., 1967), sehingga rasio tersebut hanya akan
mencerminkan derajat stok kurang dan stok lebih bukannya sebagai ukuran
kerapatan tegakan yang obyektif.
c. Metode Luas Batang Lexen
Kebutuhan mengestimasi potensi pertumbuhan tegakan. Lexen
(1943) memperkenalkan konsep luas batang sebagai kriteria potensi pertumbuhan
xilem karena hal ini terjadi pada kambium. Menggunakan plot hipotesis dengan
pohon berbagai ukuran untuk menunjukkan bahwa volume board-foot konstan
memberikan jumlah pertumbuhan yang sangat bervariasi. Luas batang adalah fungsi
keliling, tinggi dan bentuk. Metode ini terutama sekali sesuai untuk tegakan
tidak seumur karena semua pohon akan memberikan kontribusi ukuran secara
sebanding.
DAFTAR PUSTAKA