Tedong

Tedong
Tedong Silaga

Sabtu, 23 Mei 2015



Tugas Individu

SILVIKA

ayang.jpg

NAMA           : ADRISAL LOLOPAYUNG
NIM                : M 111 11 289
KELAS          : C



FAKULTAS KEHUTANAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2013


PENJARANGAN


1.     Peran Penjarangan

Penjarangan sangat diperlukan untuk menstimulir keadaan tegakan dan lingkungan. Pengaruh ini sangat berkaitan yang disebabkan oleh faktor-faktor yang dipengaruhi oleh penjarangan antara lain, temperature udara, presipitasi, penguapan, kelembaban udara, cahaya, suhu tanah dan kelembaban tanah. Sedangkan factor-faktor tersebut secara langsung maupun tidak langsung akan mempengaruhi tegakan.
Bellinga (1939) mengadakan peneltian tentang keadaan tegakan sebelum dan sesudah penjarangan pada hutan jati, terhadap jumlah batang, bidang dasar per hektar, diameter rata-rata dan tinggi rata-rata. Hasil penelitiannya, dengan penjarangan dapat membesar diameter batang, yang merupakan syarat penentu kualitas kayu, dan menambah produksi total dari tegakan.

2.    Waktu Penjarangan

Kegiatan penjarangan sebaiknya dilakukan pada musim kemarau. Pohon-pohon yang dimatikan dalam penjarangan terdiri dari :
1.  Pohon-pohon dengan batang cacat atau sakit (bengkok angin, pangkal batang berlubang atau cacat, luka terbakar, luka tebangan, benjol inger-inger, dll).
2.  Pohon-pohon dengan batang yang kurang baik bentuk atau kualitasnya (garpu, bayonet, bengkok, benjol, muntir, dan bergerigi yang dalam).
3.  Pohon-pohon tertekan (kecuali untuk mengisi lubang-lubang tajuk) yaitu pohon yang tajuknya, seluruh atau sebagian besar, berada di bawah tajuk pohon lain dan tingginya kurang dari tiga perempat tinggi rata-rata.
Semakin cepat tumbuh tanaman, semakin subur tanah dan semakin rapat tegakan, maka semakin awal penjarangan pertama perlu dilakukan. Ada dua criteria dalam menetapkan waktu penjarangan, yaitu :
1. Perbandingan tajuk aktif yaitu perbandingan antara tajuk sampai batas cabang hidup (masih bereran dalam fotosintesis) dengan tinggi total tanaman/pohon. Untuk  daun lebar penjarangan dilakukan saat perbandingan tajuk aktif 30-40 %, dan untuk daun jarum saat perbandingan 40-50 %.
2.  Setelah beberapa saat tajuk pohon menutup. Umumnya untuk jenis cepat tumbuh penjarangan pertama dilakukan pada kisaran umur 3-4 tahun dan untuk jenis medium dan lambat tumbuh pada kisaran umur 5-10 tahun.

Frekwensi penjarangan tergantung pada ruang tumbuh optimal yang dibutuhkan tegakan pada saat itu. Pada umur muda penjarangan dilakukan dengan intensitas lemah dan berangsur-angsur menjadi penjarangan keras pada umur pohon yang sudah tua. Penjarangan yang mendadak keras merugikan karena :
1. Meningkatkan pertumbuhan gulma
2. Meningkatkan penebalan kulit dan cabang
3. Memacu pertumbuhan cabang
4. Meningkatnya kayu muda (Juvenile wood).
Besarnya intensitas penjarangan dapat ditetapkan dengan dua cara, yaitu :
1.  Berdasarkan intensitas penjarangan marginal yaitu penjarangan tidak mengakibatkan penurunan kumulatif produksi kayu pertukangan. Perlu diketahui informasi rata-rata batas maksimum bidang dasar pada peninggi tegakan tertentu dan rata-rata riap volume tegakan.
2.  Berdasarkan S % (persen sela), yaitu rata-rata jarak antar pohon yang dinyatakan dalam persen terhadap rata-rata peninggi pohon (= rata-rata 100 pohon tertinggi per ha dalam tegakan). S % optimal memberikan ruang tumbuh optimal bagi pohon dalam tegakan sampai saat penjarangan berikutnya. Untuk menetapkan S % optimal diperlukan data pertumbuhan pohon pada setiap umur tegakan. Besarnya S % pada akhir penjarangan beragam menurut jenis, umumnya berkisar antara 15-35 %.

3.    Metode Penjarangan

Untuk memenuhi kebutuhan kayu bagi penduduk, bahan baku industri dan meningkatkan pendapatan perusahaan tanpa menurunkan daur tegakan, optimalisasi kegiatan penjarangan jati dan penerapan daur ganda sudah saatnya dilakukan oleh Perum Perhutani. Dengan kegiatan ini akan tercapai tujuan dari multiple use of forest land.
Ditinjau dari obyek pohon yang dijarangi, ada beberapa metode penjarangan hutan yaitu:
a)       Penjarangan tinggi, yaitu penjarangan terhadap pohon-pohon yang tajuk nya menonjol dibanding pohon yang lain (ingat tebang pilih pada TPTI).
b)       Penjarangan rendah, yaitu penjarangan terhadap pohon-pohon yang relatif tertekan, terkena penyakit, bengkok, jelek dll agar diperoleh tegakan tinggal yang baik. 
c)       Penjarangan seleksi, yaitu penjarangan terhadap pohon-pohon yang termasuk klasifikasi dominan agar pohon-pohon yang berada dibawah tajuk nya dapat terstimulasi pertumbuhannya,
d)       Penjarangan mekanis, yaitu penjarangan yang dilakukan untuk mengatur jarak antar pohon yang bertujuan memperoleh pertumbuhan optimal, tanpa melihat permukaan tajuk (ingat penjarangan untu walang), dan
e)       Penjarangan bebas, yaitu penjarangan yang tidak terkait dengan salah satu metode terdahulu dan tanpa memperhatikan permukaan tajuk. Sedangkan apabila ditinjau dari tingkat kekerasan penjarangan dibedakan menjadi tingkat penjarangan keras, tingkat penjarangan sedang, dan tingkat penjarangan rendah.

Secara umum, metode penjarangan Hart yang diadopsi dalam Peraturan Teknis Penjarangan Tahun 1937 antara lain adalah:
1.    Pohon dengan cacad, kekurangan bentuk, dan kualitas harus mendapat perhatian pertama untuk dibuang dalam penjarangan.
2.    Penjarangan pohon dominan diperkenankan hanya untuk tegakan muda, sepanjang tajuk tegakan tingal masih dapat saling menutup.
3.    Pohon-pohon  tertekan yang seluruh atau sebagian besar tajuknya dibawah tajuk pohon lain diutamakan dijarangi.
4.     Dalam penjarangan diupayakan terbentuk sebaran jarak antar pohon yang merata.
5.     Jumlah tegakan tinggal dupayakan berada pada batas dalam daftar tegakan tinggal.

                   Ditinjau dari aspek teknis dan aspek sosial ekonomi, pertimbangan Hart memilih metode penjarangan dengan derajat lemah dan intensitas sesering mungkin tidaklah keliru. Pada saat Hart melakukan penelitian tersebut (tahun 1928) jumlah penduduk di Jawa masih sangat sedikit, dan gangguan pencurian kayu jati relatif tidak ada, sehingga tegakan tinggal hasil penjarangan yang umumnya pohon dominan dan kodominan masih tetap aman. Di samping itu pada awal abad ke-20, industri pengolahan kayu di Jawa belum berkembang sehingga dengan ragam tegakan yang memiliki berkualitas batang baik akan meminimalkan biaya pengangkutan dan menghasilkan rendemen akhir yang tinggi. Perlu diingat pada awal abad ke-20, batang kayu jati tidak dibawa dalam kondisi utuh dari dalam hutan tetapi harus dipacak terlebih dahulu menjadi kayu bertarah bulat atau kayu bertarah persegi untuk mempermudah pengangkutan.

4.   Teknis Penjarangan

Pada hutan jati penjarangan biasanya dilakukan pada saat pohon berumur 1,5 sampai 2 tahun untuk tanah dengan bonita 4 keatas, sedangkan  untuk tanah-tanah dengan bonita 3,5 kebawah, tanaman dijarangi pada umur 3 sampai 4 tahun, selain itu harus diperhatikan perkembangan keadaan tegakan tersebut.
Sebelum digunakan penjarangan, menurut Hart pada hutan jati pelaksanaan penjarangan dengan menggunakan cara penjarangan kelas pohon dan penjarangan bebas. Pada setiap penjarangan, sejumlah pohon yang ada harus dibuang.  Untuk menentukan pohon mana yang harus dibuang, tergantung dari sistim penjarangan yang digunakan.
Pelaksanaannya kegiatan penjarangan pada perum perhutani terlebih dahulu melakukan inventarisasi tegakan dengan intensitas sampling 10%, yaitu dengan membuat Petak Contoh Percobaan (PCP) dengan jari-jari 17.8 meter atau setara dengan luas 0.1 Ha, dengan menunjuk satu pohon peninggi sebagai titik tengah. Semua pohon yang ada dalam PCP dihitung dan diberi nomor urut yang diawali (nomor 1) pada pohon peninggi yang juga diberi tanda T sebagai pohon tengah. Pohon yang tingginya ¾ dari pohon peninggi (pohon-pohon tertekan) tidak dihitung.
Apabila peninggi dan umur pohon sudah diketahui, maka bonita tanah dapat diketahui pula, yaitu dengan membaca pada tabel tegakan normal jati menurut Wolff van Wulfing, yang memuat jumlah pohon normal dalam luasan satu hekktar berdasarkan bonita tanah dan umur tegakan. Dengan demikian jumlah pohon yang harus dibuang/ ditebang per hektarnya dapat diketahui.


Sebelum dilakukan penjarangan, harus diketahui terlebih dahulu umur, bonita tanah, peninggi serta jumlah pohon per hektar, dengan ketentuan sebagai berikut :
·         Umur tegakan ditentukan dengan mengurangi tahun risalah dengan tahun tanam. Apabila dalam anak petak ada beberapa umur dengan beda yang tidak terlalu jauh maka ditetapkan umur rata-rata. Contoh petak luasnya 40 ha, 10 ha berumur 20 tahun, 30 ha berumur 25 tahun maka umur rata-rata adalah :
·         Pengukuran tinggi dengan alat Christenmeter atau Hagameter, yaitu dengan mengukur pohon peninggi yang merupakan tinggi pohon tertinggi tiap are atau rata-rata 100 pohon tertinggi per ha merata. Umur tiga tahun ke bawah tidak perlu diukur peningginya, sedangkan peninggi untuk umur yg berbeda, dihitung seperti menentukan umur rata-rata.
·         Bonita. Pada tegakan jati terdapat bonita dengan tingkatan setengah-setengah (bonita 1-1½, …, 5½-6). Bonita diperoleh dari Tabel WvW dengan melihat umur dan peninggidengan ketentuan bahwa untuk tegakan < 5 tahun, dicari dari bonita tegakan yang lebih tua yg berdekatan, sedangkan bonita yang baik dicari dari pohon dengan umur mulai 6 tahun peninggi.
·         Jumlah Pohon, menunjukkan banyaknya pohon per hektar yang dihitung berdasarkan jumlah pohon dalam petak ukur. Jumlah pohon dipergunakan sebagai dasar pertimbangan penjarangan dengan membandingkan dengan tabel tegakan normal.


Hasil  inventarisas tegakan yang dilakukan dengan menggunakan teknik sampling sistematik dengan petak ukur berbentuk lingkaran, dapat diketahui jumlah pohon normal yang harus ada dalam satu hektar yaitu dengan membandingkan jumlah pohon hasil inventarisasi dengan table normal WvW. Dengan demikian jumlah pohon yang harus dijarangai juga dapat diketahui.
Pohon-pohon yang dimatikan dalam penjarangan terdiri dari :
4.  Pohon-pohon dengan batang cacat atau sakit (bengkok angin, pangkal batang berlubang atau cacat, luka terbakar, luka tebangan, benjol inger-inger, dll).
5.  Pohon-pohon dengan batang yang kurang baik bentuk atau kualitasnya (garpu, bayonet, bengkok, benjol, muntir, dan bergerigi yang dalam).
6.  Pohon-pohon tertekan (kecuali untuk mengisi lubang-lubang tajuk) yaitu pohon yang tajuknya, seluruh atau sebagian besar, berada di bawah tajuk pohon lain dan tingginya kurang dari tiga perempat tinggi rata-rata
Metode Penentuan Kerapatan Tegakan
Kerapatan tegakan bukanlah merupakan penentuan ukuran volume langsung. Pada penentuan kerapatan tegakan menghendaki tambahan informasi tentang tegakan sebelum volume dapat ditaksir. Ada beberapa macam cara menentukan kerapatan tegakan antara lain
a.          Metoda Okuler
Para rimbawan Eropa mempertahankan kerapatan maksimal yang selaras dengan pertumbuhan maksimal dengan estimasi okuler penutupan tajuk dan perkembangan tajuk. Rimbawan-rimbawan ini menggunakan estimasi okuler untuk menentukan stok penuh dalam plot yang dipilih untuk membuat tabel hasil normal; dan sebagai konsekwensinya telah terdapat variasi kriteria kenormalan.
b.            Metoda Tabel Hasil Normal
Metode tabel hasil normal ini dikembangkan dari tegakan seumur yang merupakan dasar untuk mengukur kerapatan tegakan. Disini, metode tabel hasil normal memberikan nilai rata-rata banyak karakteristik tegakan untuk tegakan mempunyai stol penuh, seumur, dan murni pada umur dan kualitas tempat tumbuh sama.
Kerapatan suatu tegakan tertentu dengan metode ini dinyatakan sebagai hubungan luas bidang dasar, jumlah pohon, atau volumenya dengan nilai tabel hasil normal untuk umur dan indeks tempat tumbuh yang sama. Luas bidang dasar adalah kriteria yang paling banyak digunakan karena mudah ditentukan dilapangan dengan peralatan yang menggunakan prinsip sudut Bitterlich. Kriteria untuk ukuran kerapatan yaitu kemudahan dlam penerapan dan kemampuan mengubahnya ke volume jika tabel hasil tersedia. Metode ini tergantung pada pengetahuan umur dan kualitas tempat tumbuh tegakan. Kesalahan dalam penentuan umur dan indeks tempat tumbuh membatasi ketelitian penguluran kerapatan.
c.             Metode Tabel Hasil Bruce
Agar dapat menentukan kerapatan tegakan berdasarkan volume tegakan,  volume per pohon ditemukan membutuhkan korelasi karena variasi tinggi/ diameter dalam tegakan yang berdiameter tegakan rata-rata sama.
Variabel dalam metoda ini dapat diukur dengan mudah dan teliti dalam tegakan. Kerapatan tegakan dapat dievaluasi dengan tidak bergantung pada umur dan kualitas tempat tumbuh. Kurangnya tabel hasil yang dapat dibandingkan untuk kebanyakan jenis mengurangi kegunaan metode tersebut, dan pada setiap kasus kegunaannya terbatas untuk perbandingan kerapatan tegakan dalam suatu jenis dan daerah tertentu.
d.            Metode Indeks Kerapatan Tegakan Reineke
Metode ini digunakan untuk menjadi alat untuk pengelolaan tegakan intensif untuk mengatur kerapatan tegakan. Reineke menemukan bahwa setiap tegakan seumur pada diameter tegakan rata-rata adalah diameter setinggi dada pohon dengan luas bidang dasar rata-rata yang mempunyai lebih kurang jumlah pohon per acre yang sama dengan setiap tegakan murni, seumur dan sejenis dan mempunyai diameter rata-rata, kualitas tempat tumbuh tidak berpengaruh terhadap jumlah pohon. Indeks kerapatan tegakan selalu dinyatakan sebagai jumlah pohon. Metode ini bebas untuk mempertimbangkan pengaruh tempat tumbuh dan umur, dan dengan mudah diperoleh dengan menggunakan sudut Bitterlich atau baji Bruce untuk pengukuran luas bidang dasar (LBDS) dan dengan pencatatan diameter pohon yang dihitung pada setiap titik. Metode ini memberikan ukuran kerapatan yang tidak bergantung pada jenis.
Indeks kerapatan Reineke mempunyai banyak penerapan praktis delam mengevaluasi perkembangan tegakan. Sebagai contoh:
  • Indeks tersebut memungkinkan kerapatan tegakan dibandingkan tanpa memandang perbedaan tempat tumbuh dan umur.
  • Dengan adanya tegakan tua   tertentu yang dipandang untuk memenuhi tujuan pengelolaan, silvikulturis dengan menggunakan IKT dapat memproyeksikan kebelakang untuk menentukan jumlah pohon yang tepat yang hendaknya dijaga pada tegakan umur muda  untuk berkembang pada kerapatan yang sama.
  • Studi penjarangan dan kontrol stok menentukan tingkat batas atas dan bawah luas bidang dasar yang diinginkan.
  • Tegakan yang dijaga pada luas bidang dasar konstan berakibat pengurangan kerapatan secara berangsur karena bila hal ini dikerjakan luas bidang dasar sebagai presentase luas bidang dasar normal menurun dengan berjalannya waktu.

e.       Metode Persaingan Tajuk
Metode Bruce mempunyai keterbatasan maka muncul metode persaingan tajuk digunakan untuk pengukuran kerapatan tegakan yang didasarkan pada prinsip biologis yaitu korelasi yang tinggi antara lebar tajuk pohon yang tumbuh terbuka dan diameternya. Metode ini terbukti berguna untuk estimasi pengurangan tinggi yang disebabkan oleh berbagai derajat stagnasi pada Pinus contorta (Alexander dkk, 1967).  Metoda ini dikembangkan untuk memberikan data jumlah ruang tumbuh maksimal yang dapat digunakan oleh pohon dan data keperluan pohon minimal untuk mempertahankan tempatnya dalam tegakan (Krajicek dkk, 1961). Pohon yang tumbuh terbuka harus digunakan untuk mengumpulkan data proyeksi luas tajuk vertikal dengan diameter pohon, karena hanya pohon yang tumbuh  terbuka  hubungan luas tajuk dengan setiap diameter setinggi dada tidak dipengaruhi oleh persaingan.
Luas tajuk maksimal (LTM) dinyatakan sebagai persentase luas satu acre yang dapat ditempati oleh pohon tumbuh terbuka pada diameter batang tertentu dan penentuan luas menghendaki kurva yang sama untuk setiap jenis. Faktor persaingan tajuk (FPT) adalah jumlah seluruh nilai LTM dalam satu acre. Metode ini tidak perlu mengukur penutupan tajuk (Curtis, 1970) karena manipulasi tegakan seperti penjarangan dapat secara buatan mengganggu keutuhan tajuk. 
f.          Metode Praktis
Metode praktis tergantung pada fungsi tertentu diameter atau tinggi sebagai kontrol kerapatan tegakan yang berkembang. Metode ini mempunyai keuntungan mudah diketahui dan digunakan semua orang yang ditugaskan melaksanakan tugas tersebut. Indeks kerapatan tegakan Reineke dapat langsung diterjemahkan menjadi metode persentase tinggi atau metode D plus untuk diterapkan dilapangan.
g.         Metode persentase tinggi.
Wilson (1046, 1955) memperkenalkan ide pemeliharaan kerapatan yang seragam dalam tegakan yang berkembang dengan memperlakukan jarak sebagai fungsi tinggi; yaitu dengan tinggi pohon 50 feet dan presentase tinggi 22 persen, maka jarak antara pohon adalah 11 feet. Tinggi mempengaruhi tempet tumbuh dan umur, dan agak tidak tergantung pada kerapatan tegakan, sebaliknya diameter dipengaruhi oleh kerapatan tegakan.  Presentasi tinggi tertentu yang digunakan untuk jark tanam tergantung pada jenis terutama toleransinya, dan tujuan pengelolaan.Tempat tumbuh tidak mempengaruhi persentase. Pohon-pohon kecil  mula-mula bisa diabaikan dalam jarak tanam pohon, penerapan metode presentasi tinggi hanya menghendaki pengukuran tinggi pohon dan kemampuan untuk menaksir jarak rata-rata antar pohon meskipun terdapat ketidak keteraturan jarak tanam yang benar.
h.            Metode D plus
Metode D plus, jarak dalam feet antara pohon-pohon harus sama sperti diameter rata-rata dalam inci ditambah suatu konstanta yaitu diameter rata-rata 12 inci ditambah 2 sama dengan jarak antar pohon 14 feet. Kelemahannya kaidah tersebut adalah bahwa penambahan nilai konstanta terhadap diameter tidak mempertahankan kerapatan tertentu.

Metode Lain Pengukuran Kerapatan Tegakan

a.  Metode rasio pohon/ luas
Metode ini mengalokasikan luas permukaan tanah yang diduduki  tajuk individu pohon dalam tegakan normal menurut diameter batangnya.Luas areal untuk setiap diameter batang dikalkulasi dengan menggunkan persaman kuadrat yang diperoleh dari kuadrat terkecil data serangkaian tegakan dengan stok normal Pinus taeda yang telah digunakan dalam penyiapan tabel hasil. Rasio pohon/ luas dan luas areal pohon berdiameter tertentu tidak bergantung pada tempat tumbuh dan umur jika dikalkulasi dari tegakan normal. Penggunaan metode ini menggunakan plot tetap dan diameter semua pohon agar dapat menghitung rasio. Setiap jenis tanaman menghendaki perhitungan sekumpulan konstanta baru untuk persamaan kuadrat. Kelemahan utama metode ini adalah konsepnya bahwa luas areal yang ditempati pohon berdiameter tertentu adalah sama, dengan tidak mengindahkan kerapatan tegakan. Dengan demikian penafsiran rasio pohon/ luas akan sulit.

b.  Metode Riap Volume Stage
Kerapatan tegakan berhubungan dengan potensi pertumbuhan, namun dua tegakan bila mempunyai kerapatan tegakan sama berdasarkan jumlah pohon atau volume tetapi tidak mempunyai potensi pertumbuhan yang sama. Metode ini menaksir pertumbuhan pada suatu titik dengan menghubungkan riap volume pohon dengan pangkat tiga diameternya dan menghendaki pengetahuan kemampuan pertumbuhan suatu tempat tumbuh pada setiap tingkat perkembangan tegakan. Sementara rasio riap volume berjalan terhadap kemampuan pertumbuhan bisa tidak bergantung pada umur dan tempat tumbuh, derivatnya tidak demikian. Disamping itu, riap volume bisa konstan untuk kisaran kerapatan tegakan yang lebar (Briegleb., 1952; Gingrich., 1967), sehingga rasio tersebut hanya akan mencerminkan derajat stok kurang dan stok lebih bukannya sebagai ukuran kerapatan tegakan yang obyektif.
c. Metode Luas Batang Lexen
Kebutuhan mengestimasi potensi pertumbuhan tegakan. Lexen (1943) memperkenalkan konsep luas batang sebagai kriteria potensi pertumbuhan xilem karena hal ini terjadi pada kambium. Menggunakan plot hipotesis dengan pohon berbagai ukuran untuk menunjukkan bahwa volume board-foot konstan memberikan jumlah pertumbuhan yang sangat bervariasi. Luas batang adalah fungsi keliling, tinggi dan bentuk. Metode ini terutama sekali sesuai untuk tegakan tidak seumur karena semua pohon akan memberikan kontribusi ukuran secara sebanding.

DAFTAR PUSTAKA










Jumat, 22 Mei 2015

Tugas Dendrologi !

Nama  : Adrisal Lolopayung
Nim     : M 111 11 289

 Fruit (1)

Berikan contoh masing-masing 3 berikut  nama latin dan nama indonesia tipe buah Berikut :
       Achene
b.    Ganja (Cannabis sativa L.)
c.    Buah bunga Matahari/Kuaci (Helianthus annuus L.)
       Nut
a.    Kacang tanah (Arachis hypogaea L.)
b.    Kedelai (Glycine max (L.) Merr.)
c.    Kacang hijau (Phaseolus radiatus L.)
       Samara
a.    Meranti Tembaga (Shorea leprosula Miq.)
b.    Buah Angsana (Pterocarpus indicus)
c.    Pinus (Pinus mercusii)
       Pepo
a.    Melon (Cucumis melo)
b.    Mentimun (Cucumiss sativus)
c.    Paria (Momordica charantina)
       Pome
a.    Pir (Pyrus communis)
b.    Apel (Pyrus malus)
c.    Quince (Cydonia oblonga)
       Berry
a.    Tomat (Solanum lycopersicum)
b.    Anggur (Vitis vinifera)
c.    Alpukat (Persea Americana)


       Loculicidal capsule
a.    Lily (Lilium)
b.    Valotta (Cyrtanthus elatus)
c.    Gladwyn stinking (Iris foetidissima)
       Syconium
a.    Nangka (Artocarpus heterophyllus)
b.    Mengkudu (Morinda citrifolia)
c.    Cincau (Mesona spp.)
       Loment
a.    Fikus rambat (Ficus pumila)
b.    Putri malu (Mimosa Pudica)
c.    Api pakis (Oxalis hedysaroides)
       Capsule
a.    Buah durian (Durio zibethinus)
b.    Bunga anyelir (Dianthus caryophyllus)
c.    Kapas (Gossypium sp)